School from Heart
Tulisan tangan - School From Heart
(rangkuman igsession)
Tadi aku nonton iglive dari
parentingiseasy.id featuring mba vidya selaku co-founder dari sekolah
montessori rumah krucil. Topik yang dibahas adalah SFH = School From Heart.
Tentu aku ke trigger dong dengan judulnya. Wah, bahas SFH ini. Aku sebagai guru
dan pemberi tugas-tugas SFH kepingin banget tau tentang apa yang akan dibahas,
karena jujur i really have no idea where this live will be directed. Ingin
sekali notes ini aku tulis dalam bentuk poin-poin untuk memudahkan yang
membacanya, tapi kayaknya aku akan menulis poin-poin tersebut sambil
menceritakan apa yang ada di kepalaku ya, namanya juga tulisan tangan. Yang
kuharap akan tetap nyambung adalah bridging-nya. Dan aku akan berbicara dari
beberapa sudut pandang. Kadang ngomong dari POV (point of view) sekolah, kadang
parents, kadang POV orang ketiga. Leggo.
Pertama-tama, membahas video atau thread
yang cukup viral beredar : ada orang tua yang bikin video protes ke pihak
sekolah terkait tugas anaknya yang dianggap menyulitkan orang tua. Ditambah
dengan screenshot group orang tua dan sekolah, bahwa tugas-tugas sekolah anak
menyulitkan dan jatohnya ngerjain orang tua. Waktu video itu beredar, gue diem.
Kenapa diem? Soalnya gue mikir, it’s… understandable. Kalo dilihat dari
kacamata orang tua ya tentu nggak mudah dong. Orang tua nggak pernah di
training jadi guru, dan nggak pernah di training untuk ngajar sebelumnya.
Ketika dikasih tugas yang bertubi-tubi untuk anaknya tentu mungkin banget
terjadi bahwa orang tua kelelahan. Secara ortu bertanggung jawab untuk jadi
supervisor sekaligus teacher, untuk tugas-tugas yang dikasih oleh
sekolah.
Perlu banget ditarik mundur, sebenernya
tugas ini untuk apa sih? Dari siapa, untuk siapa? Dari guru untuk anak, atau
dari guru untuk orang tua? Coba ditarik mundur lagi.. Di kondisi yang lagi
penat karena pandemi ini, sebenernya siapa sih yang berasa dampaknya? Apakah
orang tua? Karena tugasnya jadi dobel-dobel lho, at once. Ada ibu yang harus
jadi istri, ibu untuk anak-anaknya, dan juga professional worker di kerjaannya.
Tentu ini berat. Lalu untuk anak? Untuk anak kondisi ini juga berat. Anak harus
beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang tiba-tiba berubah. Nggak ke sekolah
dan nggak ketemu teman-temannya (poin cukup penting banget untuk anak
bersosialisasi), juga ruang gerak yang dibatasi dengan berada di rumah aja dan
nggak kemana-mana. Belum lagi sama cemasnya. Jadi hal pertama yang harus di
perhatikan adalah comfort dulu.. Peluk dulu.. Tenang dulu.. Sayang dulu..
Koneksi dulu.. Poin penting: peluk before task. Sebelum riweuh ngerjain
tugas-tugas ini, find comfort within your family dulu. Rangkul emosi anak,
khawatirnya, bosennya, takutnya, try to accept the kids feeling.
Di sekolah tempat mba vidya (speaker)
berkarya, ada kelas-kelas yang dilakukan untuk menguatkan orang tua. Biasanya
sesi tersebut sekali dalam sebulan, namun dalam kondisi ini diubah menjadi
sekali seminggu. Sekolah menyediakan ruang untuk berkonsultasi antara orang tua
dan pihak sekolah, untuk berdiskusi jika ada yang ingin didiskusikan, untuk saling
menguatkan, saling berkolaborasi. Karena sekolah dan orang tua adalah mitra
lho. Bukan business transactional semata. School is not warung. The teacher
could be the third eye, to watch the kids growth while parents are working.
Jadi kalau ada parents yang protes sambil marah-marah, apakah hubungan sekolah
dan rumah adalah hubungan transaksi semata? Remember that everything is very
discussable, and it is important to build communication between parents and
teachers.. Juga untuk menangkis bahwa sekarang anak-anak ini sedang
homeschooling.. Huhu tentu tidak saudara. Berbeda. Homeschooling adalah
pilihan, ketika orang tua dan anak dapat memilih untuk menyekolahkan anaknya di
sekolah formal, swasta, atau memilih untuk merumahkan kegiatan sekolahnya. Tapi
sekarang, orang tua tidak punya pilihan dan tidak ada pilihan lain dimana
sekolah ini bisa dilaksanakan, selain dirumah.
Lalu SFH ini macam mana ya? Tentu aku
nggak SFH karena aku udah nggak sekolah. But i’ve seen my high school brother,
and his daily learning schedule from school, completed with daily quiz
that i assume it was given to measure student’s score, or student’s ability to
study at home. Awal-awal si adek gue pantengin tuh. “Dek udah kelar belom
belajarnya? Tugasnya?” dia jawab dengan “udah” sambil nggak nyaman karena
merasa di interogasi sama kakaknya. Kenapa sih gue tanyain mulu si adek? Tentu
karena gue ingin adek tetap berdaya di rumah, out of fear he will play games
all day. Siapa sih gue ini, orang tua juga bukan, malahan protes protes ke adek,
padahal ngasih solusi juga nggak.
Tapi hari ini di sesi iglive di bahas,
perlu nggak sih kelas online setiap hari? Kelas tatap muka setiap hari? Kan
anak itu harusnya ada batasan dalam menggunakan gadget lho, sekarang kok malah
jadi gadget terus ya kan.. Belom lagi kalau kelasnya anak barengan sama jadwal
kerjanya orang tua, dan di rumah adanya limited device jadi kalau mau sama-sama
nugas, harus gantian. Apalagi kalau anak dibawah 2 tahun, yang seharusnya no
gadget banget. Atau keluarga yang anaknya ada 2,3,4, rebutan deh tuh laptop.
Perlu nggak kelas online setiap hari? Jawabannya nggak perlu.. Tugas harian ini
sebenernya nggak perlu.. Selain karena harusnya ada batasan gadget, we (as
teachers) have to know that parents and their kids needed spaces too.. nggak
semua tugas itu applicable untuk dilakukan setiap hari. “But families have lots
of leisure time. They’re at home” Hadeh guys, nope. No. don’t start at me on
that haha. Right now, everyone is doing their best to survive, doing a trial
and error at the best option of what kind of things to do at home.
“Trus gimana dong spp? Ngapain bayar,
gurunya kan nggak kerja”. Fyiuh…. Ada banget nih pikiran kayak gini
berkali-kali terlintas di kepalaku.. Membuat gue kadang overthinking tengah
malem dan ngerasa bersalah bahkan untuk having a rest. Gue nggak mau banget
jadi buntelan daging nggak berbentuk dirumah, dan dibilang “enak ya. Nggak
ngajar”.
Gue rasa pikiran ini yang men-trigger
beberapa sekolah yang akhirnya jadi aktif untuk jeber-jeberan ngasih tugas ke
murid (dan juga orang tua).
Well in my case, it’s not like that.
Atasan gue, atau partner kerja gue ketika merumuskan untuk membuat SFH ini
bilang “Kita buat misi yuk, tapi bukan misi yang ngerepotin orang tua nya. Misi
tersebut lebih mendorong aktifitas bersama orang tua yang bisa dilakukan secara
fun. Sifatnya simple dan doable at home. Kayak senam bersama orang tua, atau
treasure hunt”. Lalu apakah mulus 100% dikerjakan semua? Tentu tidak.. Ada yang
melakukan, ada yang tidak. But one time we receive this answer from one of the
parents yang intinya “Sorry we can’t do all of the mission. We are trying to
make SFH as a fun thing to do during this pandemic, we are trying to find
what’s applicable to do at home” and my working partner said “I guess we all
have different coping strategy during this outbreak.” and this gain my respect.
Everyone is trying hard, everyone is doing a trial and error.. And it’s
completely fine.. Because no one knows what’s best to do because there’s no
guideline yet.. No one knows what to do unless we tried.
Solusi yang bisa diberikan adalah, we
teachers or school can give ideas of activities to do at home. Or in the
speaker case, adalah mengirim peralatan yang bisa digunakan dan dimanfaatkan
oleh anak dirumah, sambil diberikan guidelines nya.. Boleh juga online meeting
dilakukan karena orangtua menyampaikan bahwa anak-anak rindu bertemu
teman-temannya, alternatifnya adalah dengan ketemu via online, bisa seminggu
sekali or in my case seminggu dua kali. We provide 30 minutes meeting two times
a week, untuk menyanyikan lagu atau sapaan buka kelas yang biasanya dilakukan
di sekolah, lalu bercerita tentang mainan yang ingin ditunjukkan, then we said
our goodbye before listening to story telling through ig live. I think that’s
enough.
We teachers can also give mission or task,
but please take note that we have to tell parents : the task doesn’t have to be
finished by today, or you don’t have to do it. Sifatnya bukan wajib untuk
dikerjakan. Because we have to be understanding. Bener nggak sih?
Kenapa nggak wajib di kerjakan? I want to
tell you a story. During this quarantine, my little cousin whatsapped me few
times, asking for correction for his english task. Oh of course i would love
to. What did i do? I answered all of the quiz, and send it to him. Please take
note that my cousin is using his dad’s phone to contact me, so it is definitely
under parent’s consent. Part of me think that, doing this is wrong… why do i
answer it all for him? Why don’t he work it first, then i checked so that he
can somehow learn, and then i help him understand? Haha nope, i answer it all.
Why? Because even my uncle are asking me for correction, indicating that the
parents want to send back a full score squiz to the teacher. During this
pandemic, most students will get a raise in their report score i bet. Why?
Because parents did the work, according to the igsession. Either way, the
student can access the internet for answers.
Jadi tugas ini esensinya apa
dong…….?
Kok kayak nggak ada ya.. Jadi penggugur kewajiban
sekolah-sekolah aja..
Padahal nih padahal.... UN udah
ditiadakan. Pak Nadiem, mas menteri kita sudah meniadakan UN. Artinya apa?
Artinya, ini sebagai tanda bahwa nilai dan dan capaian akademis udah bukan lagi
jadi goals utama during this pandemic. Ya walaupun belum ada guidelinenya….
(Mas menteri, tolong saya minta guideline-nya mas). Tapi tetep, nilai hasil
bukan prioritas. Prioritas sekarang menurut gue adalah to survive. To stay
healthy. To build relationship and connection within the family. Lebih penting
rangkulannya daripada nilainya..
Karena kata mba vidya di iglive, untuk 6
tahun pertama perkembangan anak, penting banget untuk proses belajar dan proses
memahami sesuatu dilakukan dengan gembira dan dengan hangat. Kalau urusan ini
beres, kedepannya proses belajar Insya Allah akan lancar..
Dikutip dari iglive tadi siang, anak-anak
cuma punya orang tuanya lho. Kalau anak menyadari atau merasa bahwa mereka
menyulitkan atau mengganggu, bagaimana dong? Anak pasti akan sedih.. Akan
merasa bersalah.. Yang paling penting bertugas untuk menjaga kewarasan adalah
orang tua, bukan anak.. Karena mungkin yang pening dan jadi pusing dan galak
adalah the parents, not the kids.. (on a side note, to the “Kids only
have their parents”, this is so damn true. Memasuki sebulan gue ldr sama nyokap,
i was having a really really really hard time. Nyokap gue di jogja, berangkat
sebelum outbreak di indo and then we the kids thoughts and hope that it’s
better for mom to stay there, she’s also taking care of my grandma. But somehow
during my breakdown i said this to my siblings: mom is the only one i have. No
one is there for me like mom did. None of you did. None of my friends did.
She’s the only one. I don’t know how it is for you guys, but being away from
her is so hard for me. Jadi gue setuju kalau dibilang, anak itu hanya punya
orang tuanya. I felt that.)
Anyway, intinya adalah.. SFH ini tugas
siapa? Tugas bersama. Tugas pemerintah, tugas sekolah, tugas guru, tugas
keluarga, dan juga tugas orang tua. It is completely okay untuk bertukar
pikiran, berdiskusi bersama.. Sambil take notes bahwa orang tua have the
authority. It’s their house, and it’s their rule. It is also okay for teachers
to give ideas of activities. Everything is discuss-able.
Semangat dan kudos ya untuk kita semua
yang sedang menjalani masa masa sulit selama pandemi ini.. Keadaan ini sulit
untuk semuanya.. nggak hanya untuk jobdesc tertentu, ataupun golongan tertentu.
It’s hard for all of us.. So let’s support each other, give strength to each
other.
Also a shoutout to my school friends yang
sering menemani mengisi kegiatan menjelang tengah malam dengan main werewolf,
ludo, gartic tebak gambar bareng-bareng. You guys are fun, you guys made me
laugh, thank you.
Sending hearts and regards,
Taqiya.
18th of April 2020.
Comments
Post a Comment